*** Dilarang mengcopy bagian apapun dari blog ini, mencomot foto-foto pribadi (kecuali meme yang memang untuk publik) tanpa seiijin penulis dan harus dengan menyertakan link asal blog ini. Konsumsi publik hanya untuk dibaca, bukan untuk dicomot dan disebarkan tanpa ijin. ***
Ada sebuah film yang awalnya terputar terus di otakku. Seiiring dengan bantuan ahli agama, psikolog, dan Yang Maha Kuasa, pelan-pelan mulai memudar dan suatu saat aku harap akan berhenti berputar :
Adegan pertama ketika duniaku runtuh mendengar jeritan adikku meneriakan nama anakku tercinta, lalu namaku, lalu namanya, lalu namaku…. bergantian berulang-ulang, dan menyuruhku pulang. Dalam beberapa jam kedepan sepasang orang tua yang histeris menuju pesawat yang tersedia ditemani dua bocah kecil yang kebingungan…
Adegan berikutnya ketika keramaian memecah rumah ibuku, beberapa pria berseragam melaksanakan tugasnya, menutup resleting kantong jenazah berwarna kuning, lalu dengan bantuan keranda dimasukkan dalam ambulans diiringi pandangan dan isak tangis seluruh tetangga, menuju Rumah Sakit Fatmawati untuk menjalani visum dan menunggu kedatangan orang tuanya yang berhati hancur, untuk dimandikan terakhir kali.
Disaat yang bersamaan: seseorang memulai paginya dengan gembira, kopi dihirup tangan lincah mengetik, kalimat demi kalimat yang vulgar dan dingin, nama anakku, nama sekolahnya, penyebab kematiannya dan kisah bohongnya, yang dalam hitungan jam menyebar seperti virus kanker yang kejam….oh betapa beruntungnya dirinya ia pikir, terbayang-bayang pujian atasan dan amplop tebal, headline seperti apa yang terpampang, menyentak keras sudut-sudut ruang dipenjuru nasional, yang sudah bosan dengan berita lama…
Rakus melahap berita baru ini, seorang wanita membuka Facebooknya. Membuka Facebook kami. Mengambil foto kami. Tangannya lincah membuka barisan demi barisan kalimat yang terpampang di layar handphonenya. Jari jemarinya berlompatan mengcopy dan menyalin comotan kalimat dari sana dan sini, mulailah ia merangkai kata, bak seorang ahli forensik dari seri TV kriminal ternama, mengurai mengapa dan apa, mengulas dan menganalisa kehidupan sebuah keluarga yang ia tidak pernah kenal seumur hidupnya, yang tentunya menghasilkan tulisan tong kosong yang berbunyi sangat nyaring, menggaung ke seantero kerumunan orang yang hidupnya hampa. Entah kepada siapa ia mengirimkan simpati, terbukti karena kami yang masih hidup dibiarkan di bully.
Keesokan harinya gelombang simpati dan reaksi berdatangan. Sst, jangan bilang-bilang sebab sebenarnya, ini kan aib, bisik seorang keluarga. Aku tersentak, terluka, untuk kesekian kalinya. Aib kah? Kulirik suamiku yang menatap kami dengan wajah kaku menahan tangis.
Anakku..tidak seperti itu kau dimata kami… Tidak. Anakku pembawa hikmah dan pelajaran, seperti itulah kematiannya dimata kami.
Suatu saat film ini bisa aku simpan dalam kotak memori dan tidak perlu membukanya lagi.